Monday, July 25, 2011

Sekolah Itu, SMAN 24 Jakarta

Suara kereta terdengar jelas di telinga ku. Anginnya pun dapat terasa semilir mengenai kulit ari ku. Aku duduk di sebuah bangku panjang di depan sebuah kelas. Dengan penuh senyum, ku lihat dia melambaikan tangannya kepada ku. Saat itu memang sedang ada sebuah acara di sekolahnya. Entah apa, aku pun tak tahu. Yang jelas, memberikan ku kesempatan untuk berkunjung ke sekolahnya selama seharian penuh.

Lomba yang diikutinya telah selesai. Dia menghampiri tempat ku duduk, tepat di depan kelasnya. Pakaiannya hampir basah dengan keringat. Ku coba menatap matanya yang lelah. Lelah menatap kosong masa depan. Mungkin lelah menatap hari-hari yang penuh dengan kepenatan. Ia pun duduk di sebelah ku. Mencoba memberikan aku senyuman. Mencoba membuatku merasa gembira berada dekat dengannya, walaupun ia sudah lama tak merasakannya. Ku belai indah rambutnya yang telah lengket oleh keringat. Ku genggam tangan mungilnya dan coba untuk memberinya semangat. Semangat seperti saat pertama kali menyapanya.

Sudah satu jam kami duduk di sana. Memandang kosong lintasan kereta Jakarta – Serpong. Sesekali melihat kereta melintas dengan bisingnya yang memekakan telinga. Pandangan itu pun terus kosong. Sampai ku tatap kembali matanya yang lelah. Ia pun balik memandang. Tatapan mata itu kini mulai terisi sebuah harapan. Harapan untuk terus dapat memandangi di mana pun, kapan pun. Begitu juga aku. Harapan ku tentang dirinya yang selalu ada di sisi ku. Tak perduli dunia menghempas indahnya ruang dan waktu.

Ia pun terus menatap mataku. Dalam dan semakin dalam. Tak sempat hati ini untuk berbohong tentang rasa takut akan kehilangan dirinya, suatu saat nanti. Dan mungkin memang akan terjadi. Tapi aku pun tersadar dari semua harapan kosong itu. Dan ia pun terbangun dari khayalan tentang cinta dan kehilangan. Sebuah permainan yang tanpa sadar telah ia mainkan. Sebuah permainan yang aku kira tak akan pernah berakhir. Sampai saat di mana waktu berlari meninggalkan ku jauh di belakang sebuah pertemuan. Saat di mana waktu terbang membawa rasa cinta itu jauh ke ujung khayalan yang tak kunjung berakhir. Sebuah kenyataan memang akan menjadi pahit, walaupun terkadang terasa manis.

Kami masih duduk di depan kelas itu. Sesekali melihat orang mengintip dari dalam kelas untuk sekedar melihat keadaan kami. Tersadar oleh sapaan teman-temannya, yang mungkin terheran dengan tatapan kami. Perkataan demi perkataan terlontar tanpa bisa diingat kembali. Dan terkadang membuat senyuman itu kembali ada di wajahnya. Senyuman itu, tanda kekosongan hati yang terus dibayangi ketakutan. Ketakutan akan cinta, kasih sayang, dan kehilangan. Terus bermimpi dalam ramainya suasana acara sekolah. Tetapi terus menangis dalam keheningan hati. Hatinya dan hati ku, memang sulit untuk dilepas. Tapi juga sulit untuk disatukan.

Dan kami pun masih duduk di depan kelas itu. Menerima kenyataan akan cinta, kasih sayang dan kehilangan. Menerima kenyataan akan lelahnya hati yang mungkin hanya menunggu waktu untuk dihancurkan. Kami pun mulai melihat sekeliling sekolah. Mencoba mengingat apa yang terjadi hari ini, esok dan setelah hari esok. Mencoba mengingat apa yang kami tatap hari ini. Di sekolah ini, dan didepan kelas ini. Karena kami tahu, tak akan ada hari ini tanpa hari kemarin. Dan tak akan ada hari esok tanpa hari ini.

Di sekolah itu, kau tulis cerita untuk ku. Di sekolah itu, kau ukir kenangan untuk ku. Dan di sekolah itu, ku berikan semua indahnya perasaan ku. Sampai bel berbunyi, tanda usainya pertemuan indah kita. Dan ternyata, menjadi tanda usainya semua cerita kita. Sampai hari ini. Sampai hari di mana kau mencoba melupakan semua kenangan. Sampai saat di mana kau mencoba mencabut semua harapan yang telah tertanam. Dan sekolah itu, tetap menjadi bagian dari cerita antara kau dan aku.